Logo Lerang Muria Baru 500px Hitam

INTAI MALING, DILEMPARI PASIR GENDERUWO

Ilustrasi sosok genderuwo hantu dalam mitos Jawa (Kompasiana.com)
Ilustrasi sosok genderuwo hantu dalam mitos Jawa (Kompasiana.com)

Lereng Muria – Pada tahun 1988 suasana kehidupan di Dukuh Semi Desa Semirejo Kecamatan Gembong dalam kondisi aman, tentram dan damai. Kehidupan bermasyarakat dan beragama berjalan seperti biasanya. Tetapi ada berita yang kurang sedap yaitu sandal anak-anak yang tidur di masjid ada yang hilang. Selain itu juga berhembus berita bahwa _tape recorder_ masjid akan dicuri orang. Maklum pada tahun 1980-an masih ada kebiasaan remaja untuk tidur di masjid dan sandal merupakan barang berharga walaupun jepit sekalipun. Karena adanya informasi yang tidak sedap maka ada kesepakatan dari 3 orang akifis masjid untuk menangkap pencuri itu. Ketiganya adalah Sar (31 tahun), Dar (18 tahun) dan Wah (14 tahun). Dari ketiganya Sar adalah yang paling tua sehingga ke dua rekannya kalau menyapa dengan sebutan “lik” dari kata pak cilik atau paman. Ketiganya mengendap-endap untuk mencari tempat yang cocok untuk mengintai datangnya maling. Dar dan Wah mengambil posisi di sebelah kiri masjid di bawah pohon jeruk Bali sedangkan Sar berada di depan masjid. Kebetulan itu malam Jumat, jadi suasananya agak berbeda. Mulai memantau suasana atau mengintai pada pukul 22.00. Dengan pandangan mata fokus ke depan masjid ketiganya menahan rasa kantuk dan berebut suasana nyaman dengan ganasnya nyamuk. Sekitar pukul 23.40-an, ada kejadian yang mengejutkan. Tiba-tiba dari atas pohon ada pasir yang dilemparkan (_dikepyurke_) ke arah Dar dan Wah. Sepontan ke dua remaja tersebut lari ke depan masjid dan Sar yang ada di posisi berbeda juga berdiri mendekati rekannya yang lari ketakutan.

Bunga tumbuhan pete yang akan rontok semuanya setiap saat baik siang maupun malam
Bunga tumbuhan pete yang akan rontok semuanya setiap saat baik siang maupun malam

“Ada apa kok pada lari?”tanya Sar kepada ke dua rekannya. “Di lempari pasir genderuwo (hantu besar hitam di mitos Jawa) Lik Sar,”tutur Dar dengan mimik ketakutan. “Ahh tidak ada apa-apa, perasaanmu saja,”kata Sar berusaha menenangkan rekannya yang lebih muda. “Betul Lik Sar, dilempari pasir gendruwo dari atas pohon,”kata Wah ikut meyakinkan. “Sudah kalau takut, kamu berdua posisinya sama denganku. Di depan masjid semua,”tutur Sar sembari melangkah ke tempat semula diikuti oleh Dar dan Wah. Dengan perasaan harap-harap cemas ketiganya memandangi teras masjid dari lokasi yang aman. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.35, kok tidak ada gejala yang mencurigakan dan kondisi aman maka Sar mengajak ke dua rekannya untuk pulang. “Ayo pulang saja, besuk kerja. Maling sandal tidak datang karena kamu berdua brisik,”tutur Sar. Dar dan Wah pun ikut pulang untuk tidur di rumah. Jumat siang, setelah selasai ibadah sholat, Wah mengamati lokasi dimana dia dan Dar dilempari pasir oleh genderuwo dengan teliti. Mulai memandangi pohon jeruk Bali dan menengadahkan kepala ke atas. Ohh ternyata, ohh ternyata, di atas pohon jeruk Bali ada pohon pete yang sedang berbunga. Dan bunganya rontok setiap saat baik siang maupum malam. Jadi jalau begitu yang dikira pasir kiriman gendruwo itu ternyata bunga pohon pete yang sedang rontok. Bunga pete rontok dikira pasir dari lemparan hantu genderuwo. Ternyata salah sangka. “Monggo tersenyum sedikit saja,”kata Wah dalam hati.

Wartawan : Ek

Editor: Linn

Spesial Produk Kopi

Berita Lainnya