Lereng Muria – Sate kuda adalah salah satu variasi sate di Nusantara yang muncul dari tradisi memakai berbagai jenis daging lokal. Beberapa sumber dilansir dari wikipedia.org menyebutkan penggunaan daging kuda sebagai bahan olahan tradisional yang berkembang di beberapa daerah seperti Sumbawa, Sulawesi dan bagian Jawa — umumnya sebagai adaptasi lokal pada ketersediaan bahan dan kebiasaan makan setempat. Secara umum asal-usul sate (sebagai kategori) berakar dari pengaruh hidangan tusuk-bakar seperti kebab yang masuk ke Nusantara pada abad ke-19 dan kemudian berevolusi menjadi ragam sate lokal termasuk yang memakai daging non-sapi/kambing seperti kuda.
Dikutip dari detik.com, keunikan sate kuda ini ada pada tekstur dagingnya yang tidak berlemak dan lebih berserat. Perbedaan lainnya dengan sate daging lainnya yaitu tidak ada irisan lemak di tengah potongan dagingnya.
Dilansir dari halodoc.com, untuk sate kuda biasa digunakan bumbu-bumbu marinasi yang mirip sate lain: bawang putih/bawang merah, ketumbar, kecap manis atau kecap asin, asam jawa atau perasan jeruk, garam dan merica — kadang ditambahkan bumbu lokal sesuai wilayah (mis. bumbu khas Batak, bumbu Sumbawa). Teknik marinasi dan pemasakan (pembakaran atau tumis) penting agar daging kuda menjadi empuk dan tidak terlalu kering. Resep-resep lokal (termasuk untuk tongseng/coto/semur berbahan kuda) banyak beredar di situs resep dan media lokal.
Dikutip dari wikipedia.org, rendah lemak dan tinggi protein dibanding beberapa daging merah lain — ini membuatnya pilihan baik bagi yang ingin diet protein-tinggi / lemak rendah.
Rasa yang khas (agak manis dan ringan) menjadi daya tarik kuliner dan diferensiasi produk.
Di beberapa komunitas kuliner lokal, sate kuda menjadi makanan khas/warisan sehingga punya nilai pariwisata kuliner.
Catatan: ada juga aspek kontroversial (tabu budaya/religius di beberapa komunitas) dan isu keamanan/higiene yang harus diperhatikan.
Dikutip dari detik.com, Di Indonesia, sate kuda dilaporkan ditemukan di sejumlah daerah: Pulau Sumbawa (NTB), beberapa daerah Jawa Timur (Probolinggo, Malang, Surabaya), beberapa tempat di Jawa Tengah (Solo), Yogyakarta, serta wilayah Sumatera Utara (Humbahas/Batak) — bentuk olahannya bisa berbeda (sate, tongseng, coto, semur, hingga hidangan Batak khas). Selain itu ada warung-warung khusus yang menjual olahan daging kuda di beberapa kabupaten/kota.
Potensi pariwisata kuliner: sebagai makanan khas daerah yang unik, sate kuda dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata kuliner, terutama jika dikaitkan dengan storytelling/tradisi lokal.
Niche pasar kesehatan: karena profil lemak rendah dan protein tinggi, ada potensi pasar bagi konsumen yang mencari alternatif daging “sehat”.
Tantangan regulasi dan sosial: prospek komersialisasi lebih luas akan bergantung pada regulasi veteriner (keamanan pangan, pelacakan asal hewan), penerimaan budaya/religius, dan jaminan sanitasi/higiene. Jika aspek-aspek itu ditangani (sertifikasi, pendidikan konsumen, penjaminan mutu), peluang berkembang cukup besar namun tetap di segmen niche.
Wartawan:ek
Editor:and




