Lereng Muria – Megengan merupakan tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan atau Puasa. Megengan berasal dari kata _megeng_ (Bahasa Jawa) yang berarti menahan. Maka megengan diartikan kesiapan masyarakat untuk menahan hawa nafsu selama bulan Ramadhan atau Puasa. Megengan ini jatuh pada bulan Sya’ban atau Ruwah untuk penanggalan Jawa. Pada bulan tersebut masyarakat melaksanakan tradisi megengan dengan memasak nasi lengkap dengan sayur semur bandeng dan kelengkapannya. Untuk masyarakat Desa Semirejo Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, menu semur bandenglah yang paling umum.
Karena Pati merupakan salah satu penghasil bandeng di Jawa Tengah, sehingga ikan bandeng tersedia cukup melimpah dan harganya terjangkau. Sedangkan ayam pedaging belum populer pada waktu itu yaitu tahun 1980-an. Selain iksn bandeng, kelengkapan hidangan megengan terdiri dari berbagai macam lodeh yaitu mie goreng, bihun goreng, kacang panjang, kering tempe, tahu, tempe, ikan asin dan siyam. Terkadang ditambah sebutir telur dan seiris daging ayam kampung bagi yang ekonominya mampu. Semua jenis makanan tadi dibuat menjadi _ambengan_ atau _bancakan_. Semur ikan bandeng dan bancakan tadi dibagikan ke rumah orang tua, sanak kerabat dan tetangga. Ketika menjelang Maghrib, tuan rumah mengundang modin atau sesepuh masyarakat untuk memimpin doa dan tetangga terdekat untuk mengikuti acara “kondangan” tersebut. Pada waktu itu yang sering dimintai tolong untuk memimpin doa adalah Mbah Kasban, Mbah Mad. Sidik, Mbah Rasman, Mbah Tasmin dan Mbah Ramso. Kesemuanya sekarang sudah meninggal dunia. Modin atau pembaca doa selain mendapat berkat bancakan juga mendapat _wajib_ atau _bisaroh_ suka rela dari tuan rumah. Jadi setiap rumah mengadakan acara megengan sendiri-sendiri. Tentu saja sesuai kemampuan yang memiliki hajat megengan. Ketika menjelang Maghrib tersebut merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak, karena semur bandeng siap disantap.
Wartawan Ek
Editor Linn